Ketika ASI Tak Akan Terganti

2016-08-25_05.48.17

Pasca Persalinan

Jumat, 26 September 2014.

Suara tangisan bayi pecah di siang terik itu. Suara yang membuatku mengembuskan napas lega. Perjuanganku menjalani kontraksi sejak maghrib sehari sebelumnya kini berbuah manis. Tidak ada kata-kata yang dapat dengan tepat mewakili perasaanku demi mendengar tangisan bayiku yang menandakan kehadirannya di dunia, yang menandakan berakhirnya tugas rahimku membuainya selama sembilan bulan bersama. Aku menitikkan air mata. Kucurahkan segala kecamuk emosiku dalam tangisan bahagia dan juga rasa syukur sambil mendekap buah hatiku yang baru saja hadir tepat pukul 14.15 tadi. Seorang bayi perempuan dengan berat badan 3,3 kg dan panjang 50 cm ini. Kuciumi wajah dan kepalanya dengan lembut. Aroma khasnya menenangkan syaraf-syaraf inderaku. Tubuhku semakin terasa lemah. Aku lemas lunglai tak berdaya setelah melalui perjuangan melahirkannya. Perjuangan yang hanya kuawali dengan semangkuk pepaya potong di pagi harinya. Tiba-tiba aku merasa lapar. Sangat lapar hingga perutku seperti melonjak-lonjak minta diisi.

Aku menatap meja sudut di samping ranjang tempatku berbaring. Suamiku yang sejak pagi menemaniku dan hanya pergi sejenak untuk sholat Jumat mengangsurkan segelas jus buah kepadaku. Aku meneguknya hingga tandas. Dan aku masih lapar. Suamiku segera menyodorkan roti sobek kesukaanku. Aku tersenyum. Sepertinya suamiku ingat betul bahwa tadi pagi aku hanya sempat sarapan pepaya sebelum berangkat ke rumah bersalin. Dan persalinan yang melelahkan ini sudah sangat menguras energiku. Bahkan aku tak sanggup berkata banyak saat ibuku menelponku barusan. Aku merasa sangat lelah. Aku hanya ingin beristirahat.

Menjelang maghrib  dua orang suster datang menghampiriku. Salah satu dari mereka mengabarkan bahwa aku harus pindah ke kamar inap. Ya…aku masih di kamar bersalin sejak pagi tadi. Dan sempat tertidur pula. Suamiku pulang sekitar satu jam yang lalu untuk membersihkan dirinya, membersihkan kain alas persalinanku dan mengubur plasenta bayi kami. Baiklah. Aku bersiap. Seorang suster menggendong bayiku dan seorang lagi membantuku berdiri dari ranjang. Seketika aku merasa kakiku terbuat dari agar-agar. Suster di sampingku sigap membopongku agar tak terjatuh.

“Bisa jalan, Bu?” tanyanya setelah aku sanggup berdiri tegak.

“Ya,” jawabku singkat sambil memegang lengannya erat-erat.

Apa yang terjadi berikutnya sungguh di luar dugaanku. Kakiku terasa berat untuk kuangkat menapakkan langkah. Kucoba sekali lagi namun hasilnya setali tiga uang. Aku mengernyit heran. Ya Allah, apa yang terjadi padaku? Mengapa berjalan terasa susah dilakukan? Kulirik suster di sampingku mengedarkan pandangannya ke sekeliling mencari sesuatu. Pandangannya terhenti di salah satu sudut ruang tunggu, tepat pada kursi roda yang parkir di samping televisi besar di tengah ruangan. Aku berjengit dan refleks menggelengkan kepala.

“Suster, aku coba jalan, ya.”

Aku menyeret kaki-kakiku untuk melangkah. Bisa! Aku menyeret lagi, lagi dan lagi hingga tiba di kamar inap. Aku mendesah lega. Setidaknya persalinan keduaku ini tidak mengakibatkan kelumpuhan. Aku berkeras hati membuktikannya. Oh, forget about the wheel chair!

Sambil duduk di ranjang kamar inap, aku meraba-raba tulang ekorku. Masih terasa ngilu dan berat. Aku memijatnya perlahan. Sejak kehamilanku memasuki trimester ketiga, tulang ekorku sering terasa ngilu dan pegal karena beban yang semakin berat. Aku memejamkan mata menelusuri masa kecilku. Aku mengingat detik demi detik ketika aku berantem dengan adikku hingga dia mendorongku dari arah depan ke arah lemari. Suara benturan punggungku di lemari diakhiri dengan terlepasnya kenop laci bagian bawah. Kenop berbentuk bunga mekar bersisi tajam sempat tertancap di bagian belakang badanku sebelum akhirnya kenop itu jatuh. Kenop bersisi tajam itu sempat tertancap tepat di tulang ekorku.

Trauma di tulang ekorku sempat menyisakan derita. Aku tak bisa berjalan. Saat itu aku masih berusia sekitar lima tahun. Bapak membawaku ke berbagai tabib untuk menyembuhkanku. Aku hanya bisa termangu tak bisa bermain dan berlari-lari dengan teman sebaya. Hingga akhirnya datanglah Mbah Jaran, nenek-nenek tukang pijat keliling, mencoba menyembuhkanku. Aku masih ingat rasa sakit dan nyeri yang kurasakan saat jari-jari tangannya memijatku. Kemudian…

Aku bisa kembali berjalan!

Dengan izin Allah aku bisa kembali berjalan. Tak terbayangkan suka-citanya Bapak dan Ibu melihatku kembali berjalan. Aku pun senang tiada tara dapat bermain bersama teman-teman.

Kubuka mata mengakhiri kenangan pahit di masa lalu. Ya, masalah tulang ekorku ini sudah dua kali “menghantui” masa kehamilanku. Di kehamilan pertamaku, aku pernah mengalami susah berjalan ketika perutku semakin membesar. Rasa ngilu yang tiba-tiba menyentak di tulang ekorku membuatku meringis menahan sakit hingga akhirnya aku tertatih-tatih berjalan sambil menopang tangan di dinding. Saat itu aku bersiap hendak berangkat mengajar namun terhalang oleh rasa sakit yang datang tiba-tiba dari tulang ekorku itu. Memang sudah lama sekali rasa sakit ngilu ini datang dan pergi tapi apa daya aku belum memiliki kesempatan untuk berobat hingga tuntas. Mungkin masalah biayalah yang menjadi ganjalan terbesar.

Masa Menyusui

Selepas Isya’, aku tersentak mendengar tangisan nyaring dari bayi merahku. Aku yang sejak menempati kamar inap berusaha untuk bisa istirahat tiba-tiba diingatkan oleh alarm tangisan bayiku ini bahwa inilah awal perjalananku mengasuh dan membesarkan bayiku dimulai. Semua proses dan masa kehamilanku berlalu begitu cepat dan hanya menyisakan kenangan manis. Kini petualangan sebagai ibu yang sesungguhnya dimulai. Petualangan yang kelak terukir dalam catatan sejarah perjalananku mengasuh buah hatiku yang kedua ini. Danisha Mahira.

Aku menatap langit-langit kamar dan menghela napas. Aku masih sangat lelah. Kelelahan berkepanjangan ini membuatku teringat betapa bedanya rasa pasca persalinan yang kualami saat melahirkan anak pertamaku dulu, Salsabilla, sebelas tahun yang lalu. Aku juga lelah saat itu tapi rasanya tak selemah lunglai sekarang ini. Kurasa faktor umur juga berpengaruh. Oh, lihatlah. Betapa bedanya kondisi fisikku saat melahirkan di usia kepala tiga ini dengan dulu di usia kepala dua. Dulu aku tidak selelah ini. Aku hampir menangis ketika mencoba bangun dari posisi berbaring. Badanku terasa kaku digerakkan. Tapi Danisha menangis dan aku harus segera menyusuinya. Betapa melelahkan. Betapa singkat istirahat yang baru saja kunikmati tadi. Betapa susahnya menggerakkan badanku sendiri untuk bangun dan duduk di ranjang. Betapa semua ini terasa mengesalkan. Ya Tuhan, bolehkah aku tidur lagi sekarang? Aku sangat lelah!

Suamiku menggendong Danisha dan mengangsurkannya padaku. Oh, lihatlah malaikat kecil ini. Aku yang akhirnya berhasil duduk meraih Danisha mungilku dan mengecup pipi merahnya perlahan. Lagi-lagi aroma khasnya membiusku dan menenangkanku. Air mataku menetes perlahan. Ya, aku menginginkan bayi ini. Aku menanti sekian lama untuk memilikinya. Salsa pun sudah sekian lama menyandang gelar anak tunggal dan kemudian menginginkan seorang adik. Kini adiknya hadir di dunia. Tak seharusnya aku bersikap kesal seperti tadi hanya karena tubuhku terasa paralyzed pasca bersalin. Itu bukan kesalahan Danisha. Adalah kewajibanku untuk menyusuinya dan mengasihinya. Aku terdengar seperti orang yang tak bersyukur tadi. Ya Allah, ampuni aku. Segera aku menghapus air mataku yang mulai menetes lagi.

“Menyusui sambil tiduran aja. Kamu masih terlihat lelah,” ucap suamiku sambil mengusapkan jarinya di sudut mataku. Mengeringkan air mataku.

Aku mengangguk. Kuserahkan Danisha kembali padanya lalu aku berbaring perlahan. Hmm, gerakan ini membuat tulang ekorku terasa ngilu kembali. Aku memejamkan mata menahan sakit. Suamiku meletakkan Danisha di sisi kiriku. Aku mencoba miring ke kiri untuk mulai menyusuinya. Aku tak bisa bergerak. Entah mengapa badanku seperti dibebani besi saja rasanya sampai akupun tak bisa miring ke kiri menghadap Danisha di sisiku. Tapi aku belum putus asa.

“Yah, tolong miringkan badanku. Dorong aku agar bisa miring,” pintaku pada suamiku.

Segera suamiku sigap membantuku hingga akhirnya Danisha berhasil membuka mulut bersiap untuk ASI perdananya.

Begitulah awal mulanya hingga beberapa hari ke depan aku masih membutuhkan bantuan suamiku untuk memiringkan badanku saat menyusui. Dia juga membantuku bangun dari tidur. Dan aku juga perlahan-lahan belajar melakukannya sendiri. Menyusui dengan kondisi badan yang masih kaku, tulang ekor yang sering kambuhan ngilu, belum lagi jahitan bekas persalinan yang masih nyut-nyutan membawa pengalaman tersendiri buatku dalam perjalanan menyusui kali kedua ini. Aku tahu aku akan melalui tahapan ini dan aku sudah mempersiapkan diri sebelumnya. Aku harus ikhlas dan menikmatinya.

Minggu, 28 September 2014.

Di hari ketiga pasca persalinan, aku sudah diperbolehkan pulang. Baiklah, cukup dua malam aku menginap di rumah bersalin ini dan kurasa aku cukup kuat untuk memulai aktifitas di rumah.

Bu Rahayu, bidan senior sekaligus pemilik rumah bersalin ini memberikan pelayanan yang paripurna. Beliau sudah mengenalku bertahun-tahun sebelumnya saat aku melahirkan Salsa di rumah bersalin yang sama. Aku menghormati beliau seperti orangtua sendiri. Ucapan terima kasih dan pamitku disambut dengan tulus oleh beliau dan para perawat yang ikut menangani proses persalinanku. Mereka telah merawatku dengan sangat baik dan telaten.

Mobil Klinik Bersalin Rahayu yang mengantarku dan Danisha pulang tiba di depan rumah. I’m home! (Suamiku sudah pulang terlebih dahulu untuk menyiapkan kamar.) Para tetangga yang melihat kepulanganku menyambut dengan senyum. Aku pun membalas senyum mereka dan bergegas masuk rumah. Oh, how I miss home. Rasanya aku pergi sekian lama hanya untuk bersalin. Aku merindukan kamarku. Hawa sejuk yang menyambut kehadiranku di kamar melenakan kelopak mataku untuk menutup kembali.

“Welcome home, Sweetheart,” bisikku di telinga Danisha.

Aku meletakkannya di ranjang dan mengecupnya sekilas.

“Kamu istirahat aja. Ikut tidur sama Danisha. Harus banyak istirahat, ya,” pesan suamiku sebelum menutup pintu kamar.

“Gimana suhu kamar? Terlalu dingin?” sambungnya sambil buru-buru masuk kembali ke kamar dan memencet remote AC.

“Udah pas kok,” jawabku tersenyum. “Makasih, Yah.”

Suamiku mengangguk dan berlalu. Aku merebahkan badan di kasur empukku lalu melakukan peregangan sepuasnya. Ah, leganya. Selama sembilan bulan aku puasa stretching yang menjadi ritualku saat bangun tidur dan saat aku kelelahan. Mana mungkin obgyn-ku mengizinkanku stretching selama masa kehamilan? Yang benar saja.

Aku memandangi Danisha yang sudah pulas tertidur di sisiku. Kukecup pipinya sekali lagi sebelum akhirnya kelopak mataku terasa semakin berat untuk tetap terbuka.

Suara adzan Dzuhur membangunkanku. Aku tersentak. Astaga sudah berapa lama aku tidur? Tadi jam sembilan pagi aku tiba di rumah dan sekarang jam 12! Pulas sekali aku. Danisha juga masih terlelap dalam bunga tidurnya. Tapi, hey! Bukankah tadi Bu Rahayu sempat berpesan agar aku menyusui bayiku setiap satu jam sekali? Bahkan aku juga harus membangunkan bayiku bila dia masih tidur di saat tiba waktu menyusui. Aku merasa bersalah belum menyusuinya di tiga jam terakhir ini akibat aku tidur terlalu pulas bersamanya. Menyadari aku mulai panik, segera aku mengatur napas. Aku harus tetap tenang.

“Hai. Makan siang dulu, yuk,” sapa suamiku lirih ketika dia membuka pintu kamar. Rupanya dia baru selesai menyiapkan menu makan siang. “Makan dulu sebelum kamu menyusui. Mumpung Danisha masih bobok,” sambungnya.

Aku mengangguk. Lalu aku berjalan pelan menuju dapur. Bagus. Aku sudah bisa berjalan tanpa menyeret kaki lagi.

Ayam goreng kecap dan capcay–menu siang itu–membangkitkan selera makanku. Setelah menghabiskan makananku, aku merasa kembali bertenaga. Aku siap menyusui Danisha.

Kudekap Danisha dalam buaianku. Tak lama kemudian dia asyik menyusu. Lahap sekali. Dia juga mengenyot dengan kuat. Sesekali aku meringis menahan nyeri di puting payudara. Jarak kelahiran kedua buah hatiku yang jauh ini membuatku sedikit canggung ketika merawat bayi lagi. Rasanya seperti barusan menjadi ibu untuk pertama kali. Banyak hal yang harus kupelajari dari awal lagi. Mulai dari menggendong bayi, memandikan bayi, membedong bayi hingga menyusui dengan posisi perletakan yang pas dan lain-lain. Aku mempelajari semua itu dari nol lagi tapi aku sangat menikmatinya.

Kekhawatiranku terbukti. Ini tentang hal lain. Bukan tentang cara merawat bayi. Siang itu setelah aku menyusui Danisha, aku mencari sumber rasa perih di dadaku. Dan kutemui kenyataan bahwa kedua puting payudaraku lecet memerah hingga berdarah. Aku terbelalak dalam kengerian. Aku ingat dulu saat menyusui Salsa, putingku juga lecet tapi tidak keduanya. Hanya lecet memerah dan tak berdarah seperti ini. Sambil meringis menahan perih, kubersihkan lukaku. Luka lecet ini memang akibat Danisha sangat kuat menyusu. Orang bilang biasanya bayi laki-laki lebih kuat menyusu dibanding bayi perempuan. Tapi masa iya? Lihatlah Danisha. Malaikat mungilku ini memang awalnya menyusu tiap satu jam lalu meningkat jadi tiap setengah jam hingga akhirnya pecah rekor di tiap 15 menit. Jam begadangku semakin panjang dan terasa melelahkan. Untunglah hal itu hanya berlangsung beberapa minggu saja sebelum akhirnya jadwal menyusui Danisha stabil di tiap dua jam.

Lalu bagaimana dengan puting yang lecet berdarah? Apakah Danisha masih tetap bisa menyusui? Inilah masa yang paling berat. Tadinya aku berpikir untuk memompa ASI sampai lukaku sembuh. Namun apa yang ternyata terjadi adalah belum juga aku bersiap memompa ASI untuk stok, Danisha sudah keburu bangun untuk menyusu. Tangisannya yang semakin melengking nyaring menagih ASI membuatku akhirnya mendekapnya untuk menyusuinya langsung. Rasanya setiap helai bulu kudukku berdiri ketika menyusuinya dengan kondisi puting lecet seperti itu. Dan seringkali pula hal itu terjadi hingga akhirnya luka itu berangsung-angsur sembuh sendiri. Di kemudian hari baru kutahu bahwa obat mujarab untuk puting yang lecet akibat menyusui adalah dari cairan ASI itu sendiri. Caranya: cukup teteskan ASI di atas luka/lecet setiap hari hingga sembuh. Sayang aku terlambat mengetahui info ini yang kuperoleh dari dr. Shanty, SpA, salah satu orangtua murid dari English Course tempatku mengajar.

1 Desember 2014.

Tibalah saatnya aku harus kembali bekerja setelah menuntaskan masa cuti melahirkan. Berkat izin dari atasanku, aku membawa serta little Danisha ke Centre. Mendapatkan pengasuh bayi yang sesuai pilihan hati bukanlah hal yang mudah diwujudkan di Tangerang. Pencarianku tak membuahkan hasil hingga akhirnya segala risiko dan kerepotan kutanggung saat mengajar sambil membawa bayi.

Tiap pagi suamiku dengan sabar mengantarkanku dan Danisha ke Centre lengkap dengan segala tas perbekalan. Membawa bayi berusia dua bulan naik motor tiap pagi bukanlah pilihan terbaik tapi apa daya inilah jalan yang harus kulalui. Untunglah semua muridku menyambut Danisha dengan hangat. Mereka adalah anak-anak usia TK & SD yang sudah sangat penasaran dengan Baby Danisha. Little baby in the tummy, begitu mereka memanggil Danisha pada awalnya, mengingat ada bayi di perutku saat hamil dulu. Setidaknya kehangatan dan keceriaan mereka menyambut Danisha menyejukkan hatiku, menghilangkan penat lelah kerepotanku mengasuh bayi sambil bekerja. Mereka anak-anak hebat. I love them deeply so much. Let me recall their names: Aurelio, Daffa, Chaska, Bianca, Enzo, Darren, Trygve, Angeline, Stephanie, Joseline, etc. 

Menjelang maghrib aku dan Danisha pulang naik taksi. Ini kami lakukan setiap hari. Seringkali cuaca mendung di sore hari sehingga naik ojek motor (lagi-lagi) bukanlah pilihan tepat. Danisha masih terlalu hijau untuk terpapar polusi udara dan dinginnya cuaca mendung yang kurang ramah.

Semakin hari aktifitas baruku ini–mengajar sambil membawa bayi–semakin menguras energiku. Aku gampang lelah dan gampang sakit. Puncaknya saat kedua kaki bengkak lagi (dulu bengkak saat kehamilan di trimester ketiga dan kembali normal setelah 40 hari pasca persalinan) akibat aktifitas naik-turun tangga di Centre. Ya, semua ruang kelas ada di lantai dua sedangkan ruanganku ada di lantai satu. Jadi aku sering mondar-mandir. Dan mondar-mandir naik-turun tangga seperti itu rupanya mencetuskan reaksi bengkak pada kakiku. Akibatnya aku harus berjalan timpang tertatih-tatih karena rasa nyeri luar biasa akan hinggap di tungkaiku bila aku memaksa berjalan normal.

Pernah suatu hari setelah aku diurut oleh Bu Mukri (tukang urut langgananku), aku bersantai sejenak di ruang tamu sambil tiduran meluruskan kaki. Tiba-tiba Danisha menjerit menangis di kamar. Segera aku bangkit dan merangkak menuju ke kamar. Iya, aku merangkak karena kakiku terasa nyeri dan lunglai bila dipaksa berjalan.

“Lebih baik kamu berhenti mengajar. Fokus di rumah mengurus anak-anak sementara ini. Kamu terlalu kelelahan bila masih memaksa bekerja di luar seperti ini. Lihat kaki bengkakmu itu. Besok sudah hari Senin. Kamu yakin bisa berangkat kerja?” tegur suamiku sore itu.

Aku memandangi kedua kaki bengkakku sambil memijat tungkainya perlahan.

“Kita lihat saja, Yah,” sahutku. “Kalau memang aku digariskan untuk tetap bekerja di luar rumah pasti aku diberi jalan kemudahan. Tapi kalau hal itu bukan yang terbaik untuk saat ini, Allah pasti memberiku sinyal pertanda. Dan jika pertanda itu datang, aku akan tinggal di rumah membesarkan Danisha dan menemani Salsa,” lanjutku bersungguh-sungguh.

“Baiklah. Tapi kamu jangan terlalu memaksakan diri, ya,” pintanya seraya mengusap dan mengecup kepalaku.

Hari demi hari berlalu. Pernah dalam seminggu aku absen mengajar dua kali akibat kaki bengkakku. Untuk menopang tubuhku saat berdiri saja aku limbung apalagi sambil menggendong bayi. It’s too risky. Aku tak bisa membahayakan keselamatan Danisha. Rupanya tubuhku terlalu shocked untuk beraktifitas berat di luar rumah pasca persalinan. Dengan kondisi usia kepala tiga tampaknya aku membutuhkan masa cuti lebih panjang untuk benar-benar memulihkan kondisi fisikku agar kembali prima. Apalagi trauma tulang ekor berpengaruh terhadap kemampuan berjalanku. Kaki bengkak hanya semakin menyiksa fisikku. Aku harus sembuh. Dan aku butuh waktu lebih lama untuk sembuh demi anak-anakku. Aku juga harus adil terhadap diriku, kan?

Akhirnya tibalah hari kuukirkan kata perpisahan. Hal yang berat kulakukan karena aku bukan orang lain di Centre ini. Aku terlibat jauh dan ikut membidani kelahiran Centre ini. Aku mencintai tempatku bekerja, aku pun mencintai semua muridku di sana. Kimberly’s English Centre tak ubahnya seperti anakku sendiri.

“Kapanpun kamu kembali mengajar, pintu centre ini akan selalu terbuka untukmu,” janji atasanku padaku saat itu.

Aku mengangguk penuh haru sebelum memeluknya erat. Lalu aku melangkah meninggalkan centre. Suatu hal yang tak pernah ada dalam benakku sebelumnya.

Sebuah pilihan yang sulit namun harus aku lakukan. Aku punya hak untuk pulih pasca bersalin dan Danisha juga punya hak untuk tinggal di rumah menikmati ASI-nya secara eksklusif karena ASI tak akan pernah terganti. Dan ketika ASI tak akan terganti, baik aku maupun Danisha merasakan manfaatnya. Manfaat termanis buatku tentu saja menurunnya berat badan secara signifikan. Hanya dalam kurun waktu tiga bulan pasca persalinan beratku sudah kembali seperti sebelum masa kehamilan. Beratku naik 13 kg saat hamil Danisha dan kini aku kembali singset berkat menyusui. Sedangkan manfaat untuk Danisha: dia sangat jarang sakit meskipun sempat mondar-mandir ikut aku mengajar. Di usia dua bulan dia terpapar udara luar tapi tak pernah mengenal masuk angin. Daya tahan tubuhnya kuat dan membuatku semakin bersemangat menyusuinya hingga kini. Alhamdulillah.

Bulan Agustus ini kita merayakan Pekan ASI Dunia di tanggal 1-7 kemarin. Bulan Agustus ini Danisha genap 23 bulan. Alhamdulillah, malaikat kecilku kini persiapan menuju disapih. Tentunya aku mengharapkan bisa melakukan Weaning With Love padanya. Menyapih dengan Cinta.

24 Agustus 2016.

Danisha sayang,

Hampir tuntas tugas Bunda menyusuimu, Nak. Bunda bersyukur dan bahagia atas segala nikmat kemudahan menyusuimu. Semua kisah di atas tentang perjalanan menyusuimu yang terjal berliku bagai terhapus angin lalu. Bunda bangga padamu. Semoga kita nanti juga diberi kemudahan di masa penyapihan. Aamiin.

Peluk sayang Bunda selalu.

I love you.

 

Tulisan ini  diikutsertakan dalam Give Away ASI yang diselenggarakan oleh Dunia Biza.

24 thoughts on “Ketika ASI Tak Akan Terganti

    1. Yay! Semangat, teh! 😉👍

      Perjuangan ngASI sampai bulan depan nih. Dag-dig-duh juga mau nyapih. Jadi tega ga tega gituuu…
      Hahaha…
      *mulai drama*

      Makasih supportnya ya, teh Ani.
      *peluk*

  1. jadi inget masa-masa menyusui dulu. Aku juga selalu lecet pas nyusuin mba, tapi untung ada salep cukup mujarab yang dikasih dokter. Inget juga masa2 indah saat begadang dulu, hihihi…gak terlupakan..

  2. Semangaat selalu mba.. aku pun dulu begitu, lecet, drama menyusui emang kayaknya dialami setiap Ibu ya mba. Perjuangannya luar biasa 😄

    Btw, salam kenal mba 😊

    1. Kayaknya memang udah ada club lecet ya, mbak Shine. Hahaha…
      Banyak “korbannya”. Tapi memang itulah seninya.

      Makasih udah mampir. Salam kenal kembali. 😁😎👍

  3. Sakit di masa kecil terutama yang berhubungan dengan tulang-tulang ini, efeknya ketika kita berusia dewasa ya mba. Sering saya melihat orang sekitar saya mengalaminya, semoga mba Frida selalu doberikan kesehatan walafiat. aamiin ya Rabb.

    Sukses mba GAnya 😉

  4. Bahagianya jadi seorang ibu, merasakan menyusui sang buah hati…aku juga pingin ngerasain menyusui anak mbak, tapi belum di kasi momongan sama Allah…doakan aku yaaa

  5. Dua jempol saya untuk ibu-ibu pejuang ASI. Semoga ketika nanti saya punya anak, saya juga pantang menyerah buat memperjuangkan asupan terbaik bagi anak saya yaitu ASI.

  6. Ikutan terbawa haru bacanya Luar biasa ya perjuangan ibu, dari mulai menahan sakit saat mengandung, bersalin, menyusui, hingga merelakan kariernya. Insyaallah pahala balasan-Nya ya Mbak Fridda 🙂

  7. Haduh, jadi pengen nangis nih baca komen ini. *mewek*

    Ibu memang makhluk luar biasa ya, Mbak April. Hanya orang luar biasa yg bisa melakukan pengorbanan luar biasa.
    Semoga pahala untuk kita semua. Aamiin.
    *peluk*

  8. wah, aku juga hamil anak ke 3 ini usia 30 an mba, semoga bisa segesit lahiran anak pertama dan kedua. soalnya hidup merantau juga, anak2 masih usia balita semua, semoga bisa melewatinya dengan indah

    1. Semoga diberi kemudahan dan kelancaran ya, mbak.
      Temanku yg hamil & melahirkan di usia 30-an pernah curhat kalo berasa gampang capek. Memang lebih gesit dan cepat pulih saat usia 20-an sih. Tapi kondisi tiap ibu kan beda.
      Mbak Erna pasti lebih kuat lah.
      *peluk*

  9. Waa… Danisha udah mau wisuda.. Selamat ya Nak. Kamu pasti bangga punya mama pejuang kayak Mba Frida, Kelak bila kamu besar Nak, catatan keci; bundamu ini akan jadi tulisan yang akan membuat cintamu padanya bertambah-tambah. Cahyoo mba.

  10. Danisha: Iya, makasih Tante Ira. September ini mau 2 tahun, siap2 wisuda deh. Moga2 lancar sapihnya, ya.
    Eh, Tante. Tuh Bunda mewek tuh habis baca komen Tante. Katanya terharu. Terharu itu apa sih? 😁

Leave a reply to Rach Alida Bahaweres Cancel reply